Friday, March 1, 2013

Malaikat Yang Sesungguhnya


Aku mulai menyipitkan mata, suasana di tempat ini terasa tidak nyaman dan bising tiba-tiba. Yeah, disini tempat tiap hari aku menunggu bus untuk pulang kerumah. Di ujung jalan aku melihat seorang anak sedang habis dihajar tiga orang preman dengan badan penuh tato. Disisi lain jalan aku melihat seorang anak laki-laki kira-kira berumur 4 tahun dengan baju lusuh bernyanyi sambil bertepuk tangan di ambang pintu angkot. Di seberang jalan aku melihat seorang ibu duduk menunggui dagangannya yang sudah dari tadi pagi tak ada penglaris.
Hari ini terasa sangat bising, tapi aku malas pulang kerumah. Aku yakin di rumah akan aku dengar suara yang lebih bising lagi. Dimana ayah akan berteriak mencaci maki ibu dengan kasar, dan ibu memberi perlawanan dengan melempar semua benda yang ada di sampingnya. Belum lagi suara tangis Erika, balita usang berumur  2 tahun yang kemana-mana masih nyaman dengan popok penuhnya. Rumah berantakan, istilah “rumahku istanaku” tidak pantas dicanangkan di rumahku.

Aku mulai memutar otak, aku ingin pergi ke suatu tempat yang membuat diriku merasa nyaman. Tempat dimana aku bisa memejamkan mata dengan damai tanpa mendengar suara-suara sumbang atau caci maki yang tak enak untuk di cerna otak.

Aku memutuskan untuk kembali ke sekolah, sekolah sudah sepi. Tak ada satu pun orang yang lalu lalang seperti saat jam pelajaran di mulai hingga pulang. Aku meneruskan langkah kaki ku ke kantin sekolah, sudah sepi, ibu kantin sudah bersiap membawa pergi wadah-wadah dagangannya yang sudah ludes terjual.
Aku berbalik kea rah Lapangan basket di belakang kantin sekolah, tak kalah sepi dengan kantin. Disini, ditempat ini biasanya aku mengerutkan dahi saat mendengar gadis-gadis labil berteriak menyemangati pemain basket yang merupakan senior paling ganteng atau pacar mereka. Aku heran, tiap kali melihat kehebatan mereka bermain basket, tak satu pun kata dapat aku keluarkan dari mulut, apalagi berteriak. Mereka memang mengagumkan, aku suka. Tapi tidak sehiperbola gadis-gadis berbedak tebal itu.

Aku duduk di tempat biasa gadis-gadis itu berteriak histeris. Ku tekuk kakiku dan menempelkan dagu pada lututku. Aku melihat ke arah Lapangan yang kosong.
Dan tiba-tiba…

“kamu Sania kan??” ujar seseorang di belakangku,
Aku segera menoleh dan terjaga dari lamunanku,
“iya, gue Sania. Ada apa?” jawabku setelah melihat sosok yang dari tadi aku lamuni kehebatannya,
“oh, kenapa jam segini masih di sekolah? Ada eskul?”  aku pikir ini pertanyaan basa-basi dari dia,
“lagi males pulang..” jawabku sembari memalingkan muka,
“ok” dia menggaruk kepala “biar aku temenin ngobrol yah..” tawar nya pelan,
“gak usah, gue lebih nyaman sendirian” jawabku mulai risih dengan keadaan ini,
“yakin? Gak ada orang lagi di sekolah loh… gak takut?” nada bicaranya seperti menakut-nakutiku,
Ah, keadaan sesepi ini sama sekali tidak membuatku takut. Bahkan nyaman dan tenang.
“gak ada yang gue takutin” jawabku mulai kesal,
“ok.. ok.. calm down.. aku temenin duduk disini aja.. tanpa suara..” dia berkata tanpa dosa dan duduk di sebelahku,

Aku sama sekali tidak peduli, kuteruskan meletakkan daguku di lutut dan memandang tenang ke arah Lapangan yang kosong. Sekitarku mulai terasa nyaman dan membuat badanku melayang.
Tiba-tiba dari kejauhan Lapangan sekolah aku melihat ada seorang kakek-kakek mendekat ke arahku, Ia membawa sebuah buku yang di jepit di lengannya.

“ Sania namamu kan?” tanyanya yang ku jawab dengan anggukan,
“kau bosan dengan kehidupanmu ini??” aku kembali mengangguk,
“bagaimana dengan orang tuamu?? Apakah mereka menyebalkan??” dia memberiku pertanyaan yang ku jawab sekali lagi dengan anggukan,
“apa yang kau inginkan terjadi pada mereka berdua?” pertanyaanya kali ini membuatku membuka mulutku untuk berbicara,
“aku ingin mereka berdua segera pergi jauh dan tak usah kembali lagi, aku ingin hidup sendiri di rumah dengan tenang..” jawabanku ini membuat bulu kuduk ku sendiri berdiri,
“kau dapatkan itu…” jawab sang kakek,
“San… San… Sania!” aku mendengar suara di sebelahku,
“hah? Kenapa???” ternyata aku terbangun dari tidurku,
“ya ampun??? Di diemin malah ketiduran yah?” Tanya pemain basket itu kepadaku,
“eerr..  gue mau pulang dulu, udah sore.. “ aku bergegas meninggalkannya yang kebingungan dan segera pulang ke rumah,

Komplek perumahan tempat aku tinggal tampak lebih sepi dari biasanya, aku bergegas menuju kea rah rumahku, ramai orang berkumpul di depan rumahku,
Aku mendengar suara tangisan dan beberapa suara orang seperti berdoa atau…
Oh Tuhan, ada yang meninggal di rumahku??
Aku segera masuk ke rumah dan..

Aku mendapati ayah dan ibu di baringkan di ruang tamu  dikelilingi orang-orang  yang sedang membaca yasin.

Lututku lemas jantungku berdetak lebih cepat dari sebelumnya, kepalaku terasa di hantam dari belakang.  Aku meliha Erika tidur lelap di dalam box nya di sudut ruangan. Ya tuhan, sekarang aku sendiri yang akan merawat Erika??

Aku berteriak kencang dan mulai sesak menahan tangis, aku pun mulai teriak menangisi apa yang sudah terjadi. Aku berusaha bernafas tapi dadaku makin terhimpit perasaan sedih dan sesak. Aku langsung tersadar bahwa aku sangat menyayangi mereka. Aku teringat wajah ibu yang lembut tersenyum saat menyiapkan sarapan buat kami dan wajah ayah yang selalu tertawa saat melihatku menumpahkan semua makanan ikan ke dalam kolam.

Tuhan, aku sangat menyayangi mereka, seandainya waktu dapat di putar kembali ke masa itu, aku tak ingin waktu berjalanan ke masa sekarang.  Meraka satu-satunya di dunia ini yang sangat mencintaiku dan Erika, jangan ambil mereka ya Tuhan. Aku butuh mereka!



“San.. San.. Sania..!!”
“SANIAAA!!”
Aku kaget setengah mati dan terhentak hingga jatuh ke bawah kursi tempat aku duduk,
Manusia bau keringat di sebelahku ini tertawa terbahak-bahak.
“kamu tidur pulas banget? Uda gelep nih, pulang lah..” ya ampun dia menertawakanku dan mengejekku,
Ah aku tidak peduli, yang aku pikirkan sekarang adalah cepat pulang kerumah, bisa memeluk Ayah, Ibu dan Erika si balita usang itu.

Aku berlari ke rumah dan melihat ayah dan ibu duduk di ruang tamu, aku peluk mereka baerdua dan ku ucapkan kata-kata yang seumur hidup belum pernah aku ucapkan.
“ayah, Ibu,  aku sangat mencintai kalian”.
Siapapun mereka, jadi apapun mereka di dunia, dan apapun yang mereka lakukan hanya satu hal yang aku tau, mereka adalah malaikat di kehidupanku, malaikat yang sesungguhnya dari Tuhan, dan ku terima apa adanya mereka.

_Saski_

~Teruntuk Mama&Papa yang mencintaiku dari roh ku dihembuskan ke bumi hingga saat ini~

No comments:

Post a Comment

Thanks for comment ^_^